“DISAAT AKU TUA”
Disaat aku tua, bukan lagi diriku yang dulu, maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku.
Disaat aku menumpahkan kuah sayuran di bajuku, disaat aku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu,
Ingatlah saat-saat bagimana aku mengajarimu, membimbingmu untuk melakukannya.
Disaat aku dengan pikunnya mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu.
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku.
Dimasa kecilmu, aku harus mengulang dan mengulang terus sebuah cerita yang telah kuceritakan ribuan kali, hingga dirimu terbuai dalam mimpi.
Disaat aku membutuhkanmu untuk memandikanku, janganlah menyalahkanku.
Ingatlah dimasa kecilmu bagaimana aku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi.
Disaat aku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan asing bagiku, janganlah mentertawaiku.
Renungkan bagimana aku dengan sabarnya menjawab setiap pertanyaan dan rasa ingin tahumu yang kamu ajukan pada saat itu.
Disaat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan, ulurkan tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku.
Bagaikan di masa kecilmu aku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan.
Disaat aku lupa akan topik pembicaraan kita, berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya kembali.
Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku, asalkan engkau berada disisiku untuk mendengarkanku, aku telah bahagia.
Disaat egkau melihat diriku menua, janganlah bersedih.
Maklumilah diriku, dukunglah aku, sebagimana aku memahamimu disaat engkau mulai belajar tentang kehidupan.
Dulu aku menuntunmu manapaki jalan kehidupan ini, kini temani aku hingga akhir jalan hidupku.
Berilah aku cinta kasih dan kesabaranmu, aku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur.
Didalam senyum ini, tertanam kasihku yang tak terhingga padamu.
Seperti puisi “Disaat Aku Tua” diatas, manusia (segala sesuatu yang dipanjangkan umurnya) akan kembali ke awalnya (Qs YASIN : 68). Demikian pula Bumi yang sering disebut “ibu pertiwi”. Manusia sebagai penghuni bumi bagaikan anak dikisah puisi diatas. Sedangkan orang tua dalam puisi diatas sama juga Bumi.
Ketika Aku (bumi) TUA nanti, disaat tidak berdaya, disaat mual muntah, disaat menemui kesalahan, disaat pikun, disaat butuh perawatan, disaat kaki lemah berjalan, disaat goncangan keras, sesungguhnya ingin (juga) bantuan, ingin perhatian, ingin disayang, ingin dimengerti, sebelum benar-benar berakhir. Lalu pertanyaannya, apakah bumi sebagai ibu pertiwi yang kita diami masih muda perkasa, atau sudah tua dan lemah ?. Bagaimana jika jantung bumi tiba-tiba berhenti berdetak akibat terus menerus terambil energinya ?.
Cerita “CORELL TYAN & DSKAT v1-2”, mengungkapkan kekuatan cinta sejati orang tua ke anaknya dan anak ke orang tuanya serta kisah perjuangan penuh pengharapan mengaplikasikan IPTEK. Kemudian garis kisahnya menarik karena kuatnya perasaan kangen pada orang tua, hingga ingin mengulang kisah saat termanis seperti bersama dulu (MASA LALU). Dipadu apik oleh mimpi menggapai cita-cita ingin selalu memberi “terbaik “ (pendidikan anak) hingga mengejarnya ke MASA DEPAN. Ada kekaguman atas ciptaan TUHAN, menghargai karya MANUSIA, perjalanan (tour) MENYENANGKAN, lemah menghadapi UJIAN-cobaan dan MOTIVASI perjuangan HIDUP mulai dari bawah hingga berhasil.
Harapan penulis sederhana, penulis adalah manusia biasa yang penuh kesalahan dan jauh dari sempurna. Maka melalui cerita ini penulis berharap besar dapat diterima di hati dan pikiran pembaca.
Semarang, 30 Oktober 2009
DEDI TRI PUTRA, SKOM
REFERENSI
PENGANTAR “Disaat Aku Tua” penulis peroleh ketika mengikuti acara silaturahmi yang diselenggarakan Trah Van DANU. Ketika itu pertemuan dilangsungkan di rumah Bp. Ismoyo (pensiunan redaksi pemberitaan RRI). Bp. Ismoyo yang juga ketua perkumpulan trah VAN DANU, adalah seorang tokoh budaya dengan kemampuan yang lebih diatas rata-rata. Dikota tercinta, beliau biasa diundang sebagai MC berlatarkan budaya jawa. Dan diacara tersebut, bp Ismoyo yang biasa penulis panggil mas Moyo membuka acara dengan membacakan puisi tersebut.
Bagi penulis, pembukaan acara dengan baca puisi menjadi sangat special dengan latar suara gamelan jawa. Suasana benar-benar dibikin menyentuh dan hening. Semua undanganpun seakan terbawa suasana dan haru mendengar bait demi bait. Penulispun kagum mendengar suara bergetar yang dilantunkan bp Ismoyo. Tak disangka penulis juga berkaca-kaca mengingat para pendahulu sebelum kami.
Diakhir acara penulis mendatangi bp Ismoyo untuk meminta puisi tersebut masuk sebagai pengantar ke dalam buku cerita “CORELL TYAN & DSKAT ver 1-2”. Bp. Ismoyo tidak serta-merta mengiyakan, ada apa …? Ternyata beliau menceritakan asal mula memperoleh puisi “Disaat Aku Tua”.
Dengan menarik nafas dan bercerita tentang si pembuat puisi, Bp. Ismoyo buru-buru memanggil istri tercinta. Bu Ferry biasa kami panggil adalah purnawirawan POLRI. Ada apa ini …? dalam hati penulis bertanya. Dari tutur cerita mereka, ternyata penulis puisi “Disaat Aku Tua” adalah salah seorang petinggi atau mungkin orang penting (purnawirawan) POLRI. Penulis puisi tersebut mantan atasan Bu Ferry, sehingga perlu ijin dan sebaginya. Bapak Ismoyo mengambil HP dan menghubungi penulis puisi “Disaat Aku Tua” lalu menerangkan ada seorang yang tertarik memasukkan puisi kedalam buku.
Jawaban beliau yang ada dibalik HP tersebut melegakan dan mengiyakan (memperbolehkan) judul puisi tersebut penulis ambil sebagai pembuka buku. Setelah saya desak siapa beliau sesungguhnya..?. Bp Ismoyo dan bu Ferry hanya bersedia memberi sedikit keterangan. Beliau adalah seorang purnawirawan POLRI yang kini tinggal dan menetap di kota SOLO. Bp Ismoyo menjelaskan pula beliau tidak bersedia disebutkan namanya di dalam buku saya kedepan. Dengan sangat iklas puisi itu diberikan kepada penulis. Alhamdulillah dalam hati kecil saya berkata demikian. Menurut penulis, puisi “Disaat Aku Tua” memiliki ikatan emosional, bermakna sangat mendalam dan arti yang luas.